Hari Kebudayaan Bertepatan dengan HUT Prabowo, PDIP: “Itu Kebetulan, Tak Perlu Tendensius”

Jakarta — Penetapan 17 Oktober pttogel sebagai Hari Kebudayaan Nasional oleh pemerintah menuai sorotan publik lantaran tanggal tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto. Keputusan ini memicu perdebatan dan tudingan bahwa ada unsur politis atau kultus individu di balik penetapan tanggal tersebut. Namun, PDI Perjuangan (PDIP) menanggapi dengan santai dan menyebut hal itu sebagai kebetulan semata yang tidak perlu ditanggapi secara tendensius.

Juru bicara PDIP, Ahmad Basarah, menyatakan bahwa pihaknya tidak ingin terjebak dalam prasangka atau spekulasi yang bisa mengaburkan semangat utama dari penetapan Hari Kebudayaan itu sendiri. Menurutnya, kebudayaan adalah fondasi penting dalam pembangunan karakter bangsa dan penetapannya tidak semestinya dicampuradukkan dengan dinamika politik yang cenderung subjektif.

“Kalau tanggalnya bertepatan dengan ulang tahun Pak Prabowo, saya kira itu hanya kebetulan. Yang terpenting adalah esensinya, bukan momentumnya. Jangan terlalu tendensius,” ujar Basarah kepada wartawan, Senin (14/7).

PDIP Fokus pada Substansi, Bukan Simbol

PDI Perjuangan yang selama ini dikenal sangat konsisten memperjuangkan nilai-nilai kebudayaan, menekankan bahwa perhatian utama harus diarahkan pada penguatan kebudayaan nasional. Basarah mengatakan bahwa partainya sejak awal mendorong agar kebudayaan tidak hanya dijadikan sebagai pelengkap retorika pembangunan, tetapi menjadi bagian dari strategi nasional untuk membangun jati diri bangsa.

“Kami di PDIP sejak zaman Ibu Megawati sudah menekankan pentingnya kebudayaan sebagai roh pembangunan. Jadi, jangan sampai karena penetapan tanggal ini lalu seluruh fokus berpindah ke hal-hal yang bersifat simbolik,” imbuhnya.

Penetapan Hari dan Respons Masyarakat

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional, dengan tujuan untuk mengangkat dan memperkuat peran budaya lokal dalam pembangunan nasional. Meski sebagian pihak mengapresiasi langkah ini, sejumlah kelompok sipil dan warganet justru mempersoalkan waktu penetapan yang dinilai sarat makna politis.

baca juga: toyota-glanza-dibanderol-rp-130-jutaan-irit-bbm-hingga-229-km-l-mobil-hatchback-murah-meriah-yang-siap-menggoda-pasar

Media sosial sempat diramaikan oleh tagar dan komentar bernada sinis yang menyindir pemerintah. Beberapa menuduh keputusan itu sebagai bagian dari upaya pencitraan atau simbolisasi kekuasaan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai awal dari “pembentukan kultus individu” di era kepemimpinan Prabowo mendatang.

Namun, di tengah riuhnya perdebatan, sejumlah budayawan dan akademisi turut menyuarakan pandangan yang lebih menyejukkan. Mereka menilai bahwa apapun tanggalnya, selama tujuan dan implementasi Hari Kebudayaan dilakukan dengan tulus dan konsisten, maka itu tetap patut diapresiasi.

Budayawan dan Akademisi Bersuara

Salah satu budayawan senior, Sujiwo Tejo, menanggapi perdebatan ini dengan pendekatan filosofis. Ia menyebut bahwa bangsa ini akan semakin dewasa jika mampu membedakan antara niat baik dan prasangka buruk.

“Kalau kita ribut soal tanggal, lupa pada makna, itu tandanya kita masih jauh dari matang secara budaya. Mari rayakan semangat kebudayaan, bukan terus curiga,” ujar Sujiwo.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Prof. Devina Wulandari, menekankan pentingnya transparansi dalam setiap kebijakan publik. Ia menyarankan agar pemerintah menyampaikan proses dan pertimbangan di balik penetapan tanggal tersebut agar tidak menimbulkan spekulasi.

“Keterbukaan informasi sangat penting. Pemerintah harus menjelaskan mengapa memilih 17 Oktober, apakah ada sejarah budaya yang relevan di tanggal itu. Kalau tidak ada, setidaknya akui bahwa itu pilihan teknokratis,” katanya.

Catatan Akhir: Tantangan Implementasi

Di luar polemik tanggal, tantangan utama yang kini dihadapi pemerintah adalah bagaimana Hari Kebudayaan Nasional ini bisa diimplementasikan secara nyata, bukan hanya sebagai seremoni tahunan. Banyak daerah yang memiliki warisan budaya kaya, namun belum mendapatkan perhatian maksimal dari pusat. Diperlukan kebijakan yang mendorong revitalisasi budaya lokal, pelestarian bahasa daerah, hingga perlindungan hak kekayaan intelektual budaya.

PDI Perjuangan sendiri berharap agar penetapan Hari Kebudayaan ini menjadi momentum kebangkitan budaya nasional yang inklusif dan tidak terjebak dalam politik simbol semata.

“Kita dukung Hari Kebudayaan. Tapi tolong jangan jadikan budaya sebagai alat politik. Biarkan budaya hidup dan berkembang secara alami, karena itulah jati diri bangsa,” pungkas Ahmad Basarah.

Dengan demikian, meskipun tanggal penetapan Hari Kebudayaan bertepatan dengan ulang tahun tokoh penting seperti Prabowo Subianto, semangat dan substansi di balik kebijakan tersebut tetap lebih penting untuk dikawal bersama.